Soros dikenal memiliki kemampuan tinggi dalam
berspekulasi di bidang perdagangan mata uang. Pada tahun 1982, dalam waktu
singkat Soros berhasil meraup keuntungan 1,2 milyar dolar dalam perdagangan
mata uang Poundsterling. Akibatnya, sebagian perekonomian Inggris hancur. Iapun
dijuluki sebagai “Pria Yang Menghancurkan Pound” (The Man Who Broke the Pound).
Pada pertengahan tahun 1997, perekonomian negara-negara Asia Tenggara, antara
lain Indonesia, Thailand, dan Malaysia, tergoncang hebat karena secara
tiba-tiba harga tukar dollar melonjak tinggi. Ribuan perusahaan bangkrut dan
jutaan orang menjadi penganggur.
Meskipun
banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini, namun salah satu sebab
utamanya adalah perilaku para spekulan valuta asing yang telah memborong dollar
Amerika, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga nilai mata uang
negara-negara ASEAN itu terpuruk. Spekulan uang terbesar pada era krisis
tersebut adalah George Soros.
Kebangkrutan berbagai industri di negara-negara ASEAN itu lalu
dimanfaatkan oleh kapitalis Barat untuk membeli saham-saham di negara-negara
tersebut dengan harga murah. Akibatnya, kini sebagian besar perusahaan penting
di Indonesia adalah milik pengusaha asing. Pada tahun 2000, George Soros
dilaporkan memiliki saham pada PT AGIS di Indonesia sebesar 10 persen dan
beberapa perusahaan lainnya, termasuk Astra internasional.
Belakangan, untuk menghapus
citra buruk dirinya, lewat jaringan yayasan yang dimilikinya, Soros berusaha
menyisihkan sebagian kekayaan yang diperolehnya dari kegiatan spekulasi untuk
membantu mengatasi dampak ‘kegagalan sistem pasar finansial global’ terhadap
negara-negara miskin. Soros selalu menampilkan organisasi yang dipimpinnya itu
sebagai organisasi yang melakukan aksi-aksi kemanusiaan di berbagai penjuru
dunia. Soros juga melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia dan
menyampaikan pidato-pidato berkenaan dengan demokrasi dan kebebasan. Menurut
media massa Barat, Soros Foundation telah mengucurkan dana sebesar 4,2 milyar
dolar untuk membantu fakir miskin di berbagai penjuru dunia.
Namun, bantuan itu tidak
disalurkan lewat PBB dengan alasan bahwa Soros tidak mempercayai PBB. Karena
itu, banyak pengamat politik yang meyakini bahwa langkah Soros Foundation untuk
menyampaikan bantuannya secara langsung adalah untuk menyebarkan pengaruh dan
infiltrasi di kawasan-kawasan yang diberi bantuan. Pada tahun 1997, seorang ilmuwan
Bosnia mengungapkan bahwa di Bosnia, Soros dianggap sebagai pahlawan oleh
sebagaian masyarakat negara muslim ini. Sebabnya adalah karena selama Perang
Bosnia, Soros banyak mengucurkan bantuan finansial kepada rakyat Bosnia.
Kemudian, setelah perang usai, Soros mendanai berbagai penerbitan media massa
di negara itu. Media yang diterbitkan itu banyak memuat foto-foto amoral dan
menyebarkan pemikiran kebebasan dan sekularisme.
Presiden Brazil, Lula da Silva,
dalam KTT Ekonomi di Davos, Swiss, tahun lalu, mengatakan bahwa lembaga-lembaga
keuangan dunia, di antaranya lembaga keuangan milik Soros, merupakan penyebab
krisis di negaranya. Presiden Brazil memang pantas marah terhadap Soros. Rakyat
Brazil lainnya pun juga marah terhadap Soros karena kata-katanya yang
menyinggung hati mereka dalam majalah Sao Paolo. Soros mengatakan,
Dalam sistem ekonomi
kapitalisme, kepala negara-kepala negara di dunia ditentukan oleh AS. Dalam
pemilu Brazil, kandidat yang menentang kebijakan kami, tidak boleh terpilih.
Pada kenyataannya, bukanlah rakyat Brazil yang memberikan suara. Jika ada
kandidat lain yang terpilih, Brazil akan berhadapan dengan krisis ekonomi yang
besar. AS kini bagaikan Roma pada zaman dulu, yang merupakan rezim satu-satunya
yang berhak untuk bersuara.
Namun anehnya, meskipun
berperan sebagai sumber krisis keuangan di berbagai negara dan berhasil
mengeruk milyaran dollar dari krisis itu, Soros pun aktif menulis buku-buku
ilmiah mengenai perekonomian dunia. Di sini ia menempatkan diri sebagai
pengamat dan memberikan saran-saran mengenai bagaimana seharusnya perekonomian
dunia diatur sehingga negara-negara bisa keluar dari krisis ekonomi. Salah satu
buku karya Soros berjudul Krisis Kapitalisme Global. Di dalamnya, Soros
berusaha menunjukkan bahwa kapitalisme global sedang mengalami ujian dan
ancaman yang sangat berat. Apabila hal ini tidak ditangani secara serius,
suasana krisis akan akan menghantui perjalanan kapitalisme global. Dengan kata
lain, meskipun sistem kapitalisme telah terbukti mengorbankan jutaan rakyat di
dunia, namun Soros melalui bukunya ini berusaha terus menyebarkan sistem
kapitalisme global yang memang terbukti telah membuat dirinya kaya raya.
Soros dan Krisis Moneter Asia
Beberapa bulan sebelum
terjadinya krisis moneter 1997, seluruh dunia termasuk Bank Dunia dan IMF
memuji-muji prestasi ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia. Bahkan ekonomi
negeri ini disebut-sebut secara fundamental sehat dan kuat. Indonesia pun
dijuluki sebagai “Macan Baru Asia” karena kemajuan pesatnya di bidang ekonomi.
Namun ternyata, semua prestasi yang dibanggakan itu seperti tak ada artinya
tatkala nilai tukar Rupiah, Ringgit, Bath, dll, terhadap Dolar AS jatuh
terjerembab di bursa valas internasional. Efek dari jatuhnya mata uang
negara-negara Asia Tenggara ini sangat luar biasa. Seperti kartu domino,
mula-mula hanya berpengaruh terhadap sejumlah produk impor, tetapi kemudian
menjalar ke berbagai sektor, melambungkan harga berbagai produk lokal, membangkrutkan
ribuan perusahaan dan menganggurkan jutaan tenaga kerja.
Sebab awal terjadinya krisis
ini memang jelas. Semua ini bermula dari permainan kotor yang dilakukan para
spekulan mata uang internasional untuk menjatuhkan sejumlah mata uang di Asia.
Salah satu spekulan yang bermodal kuat, dan karena itu paling berperan besar
dalam terjadinya krisis ini, adalah George Soros melalui lembaga manajemen
keuangan yang dimilikinya. Tak heran bila PM Malaysia saat itu, Mahatir
Muhammad, menyatakan, George Soros harus bertanggung-jawab atas krisis moneter
yang melanda beberapa negara Asia mulai kuartal kedua tahun 1997.
Selajutnya Mahatir
menghubungkan globalisasi dengan krisis ini. Mahatir mengatakan, Setelah kita
menerima globalisasi dan menerapkan kebebasan ekonomi di negara kita, ekonomi
dan uang kita menjadi sasaran serangan kekuatan-kekuatan besar keuangan dunia
dan orang-orang yang diuntungkan oleh sistem ini. Mahatir menambahkan, Hasil
40 tahun kerja keras bangsa Malaysia lenyap hanya dalam beberapa pekan akibat
pekerjaan beberapa orang dan tidak ada hukum internasional apapun yang bisa
dipakai untuk menghadapi orang-orang seperti ini.
PM Mahathir menegaskan,
“Berdagang uang adalah perbuatan yang tidak bermoral. “Kenyataan memang
menunjukkan bahwa perdagangan mata uang atau valuta asing cenderung merugikan
yang lemah. Para spekulan uang tidak ragu-ragu mengguncang stabilitas suatu
negara demi kepentingan mereka sendiri. Dalam kasus moneter di Indonesia,
pertengahan tahun 1997 adalah masa ketika pembayaran hutang
perusahaan-perusaaan swasta jatuh tempo dengan jumlah sekitar 8 juta dollar.
Belum lagi bila diperhitungkan utang BUMN yang juga jatuh tempo dan kewajiban
pemerintah untuk membayar cicilan utang dan bunganya yang cukup besar, yaitu
sekitar 6 miliar dolar. Artinya, pada masa itu, kebutuhan terhadap dollar
meningkat. Pada saat itulah, para pedagang uang memborong dollar dan kemudian
menjualnya dengan harga tinggi. Akibatnya, ribuan perusahaan di Indonesia
bangkrut, harga-harga melambung tinggi sehingga jumlah rakyat miskin meningkat
tajam, dan pemerintah Indonesia kini terbebani hutang sebesar 1500 trilyun
rupiah.
ETIKA BISNIS SOROS
Meskipun letak kesalahan tidak
seratus persen berada di tangan Soros, karena jatuhnya nilai rupiah ini juga
dipengaruhi oleh sistem devisa bebas yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia
sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk memperdagangkan valuta asing,
namun etika bisnis yang dianut oleh Soros dan para pedagang valas lainnya patut
dipertanyakan. Ketika Soros melakukan transaksi valas, dia sudah bisa
memprediksikan kehancuran negara-negara Asia sebagai akibat dari transaksi itu.
Namun, ia tetap melakukannya dan terjadilah krisis hebat yang menyengsarakan
puluhan jutaan rakyat Asia Tenggara. Tak heran bila mantan PM Malaysia Mahatir
Muhammad pernah menyatakan kecurigaannya bahwa krisis moneter yang menyapu Asia
ini adalah sebuah agenda Yahudi karena kaum Yahudi, kata Mahathir, tidak
senang bila melihat kaum Muslim bergerak maju.
Perdagangan valas yang
dilakukan Soros telah memberi keuntungan kepadanya sebesar satu milyar dollar
pertahun. Artinya, demi menambah jumlah uangnya, Soros dengan tega telah
mengorbankan puluhan juta rakyat di berbagai negara. Menanggapi berbagai
kecaman yang disampaikan terhadapnya, Soros menyatakan bahwa kesalahan terletak
pada pemerintahan yang tidak transparan dan despotik di negara-negara Asia.
Menurut Soros, pasar akan menentukan dirinya sendiri. Artinya, bisnis yang dia
lakukan hanya semata-mata memenuhi peluang pasar. Padahal, pasar global
sesungguhnya tidak bebas, melainkan diatur oleh para pemodal kelas kakap
semacam Soros.
Sebagian pengamat ekonomi yang
membela Soros mengatakan bahwa apa yang dilakukan Soros adalah bisnis semata
dan toh, Soros juga memberikan sebagian uangnya untuk membantu rakyat miskin di
berbagai negara. Pandangan ini menunjukkan bahwa Soros Foundation telah
memberikan citra baik kepada Soros, sehingga bisa mengurangi berbagai kecaman
yang dialamatkan kepada dirinya. Atas aktivitas yayasannya tersebut, Soros juga
dijuluki sebagai filantropis atau orang yang mencurahkan perhatian, waktu, dan
uangnya untuk menolong orang lain.
Namun, kegiatan Soros membantu
rakyat miskin dengan bisnisnya di bidang perdagangan uang yang telah
memiskinkan puluhan juta manusia, jelas merupakan sebuah paradoks. Sudah pasti
ada tujuan tersendiri di balik bantuan-bantuan yang diberikan Soros melalui
yayasan Soros Fundation-nya. Sebagaimana kami sebutkan pada pertemuan
sebelumnya, di Bosnia, Soros mendanai penerbitan media massa yang memuat foto-foto
amoral dan menyebarkan pemikiran kebebasan dan sekularisme.
Soros dan Revolusi Beludru Georgia
Kawasan Kaukasus dan Asia
Tengah merupakan kawasan yang menjadi pusat aktivitas Soros Foundation selama
beberapa tahun terakhir. Aktivitas yayasan ini di Georgia menjadi pusat
perhatian dunia sejak terjadinya transformasi politik di negara itu pada bulan
November 2003. Krisis di Georgia berawal dari penyelenggaraan pemilihan anggota
perlemen tanggal 2 November 2003. Dalam pemilu tersebut, pemerintah di bawah
kepresidenan Eduard Shevardnadze dicurigai melakukan kecurangan, sehingga
menimbulkan aksi demonstarsi besar-besaran. Demonstrasi besar yang dipimpin
oleh Mikhail Saakashvili, ketua Partai Gerakan Nasional ini, akhirnya berhasil
memaksa Presiden Shevardnadze mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 22
November 2003. Pergantian kekuasaan ini berjalan damai dan tidak ada korban
jiwa, sehingga disebut sebagai Revolusi Beludru. Pada awal tahun 2004, kembali
diadakan pemilu, dan Mikhail Saakashvili, terpilih sebagai presiden baru
Georgia.
Setelah mengundurkan diri,
Eduard Shevardnadze melakukan berbagai langkah untuk mengungkapkan peran Soros
Foundation di balik krisis politik di negaranya itu. Menurut Shevardnadze,
Soros telah mengucurkan dana beberapa juta dolar untuk mendukung aksi
penyingkiran Shevardnadze dari jabatannya. Shevardnadze mengatakan, Saya tidak
bisa menyebutkan negara-negara mana saja yang mendukung kerusuhan yang terjadi
bulan November itu, namun bisa diyakini, kelompok-kelompok internasional
semacam Soros Foundation merupakan pendukung dana dari aksi itu. Tujuan Soros
Foundation adalah menciptakan situasi seperti di Yugoslavia, yang pada tahun
2000, gerakan-gerakan demonstrasi massa telah berhasil menyingkirkan Slobodan
Milosevic dari jabatannya sebagai presiden.
Selain itu, Shevardnadze juga
menuduh Richard Miles memiliki peran penting di balik penggulingan dirinya.
Kecurigaan atas peran AS mulai tampak pada pembatalan kunjungan Collin Powell
ke Georgia pada tanggal 16 Mei 2003. Pada musim panas 2003, Shevardnadze yang
mulai mencurigai Richard Miles, meminta kepada Presiden Bush agar menarik
pulang Dubes AS itu, namun permintaan ini ditolak Bush. Pada saat yang sama,
pemerintahan Shevardnadze menghadapi jatuh tempo pembayaran hutang negara,
namun IMF yang memiliki kaitan erat dengan Soros Foundation, menolak memberikan
bantuan keuangan. Pada bulan November, terjadilah demonstrasi besar-besaran
menentang pemerintah yang berujung pada pengunduran diri Shevardnadze.
Tuduhan yang dilemparkan
Shevardnadze itu didukung oleh berbagai bukti. Pertama, Soros sendiri pernah
menyatakan bahwa dirinya telah mengeluarkan uang jutaan dollar untuk
menggulingkan pemerintahan Shevardnadze. Kedua, dalam pemerintahan Georgia yang
baru terbentuk, empat di antaranya, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri
Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Menteri Urusan Pemuda, adalah orang-orang yang
dikenal dekat dengan George Soros. Keempat orang ini sebelumnya bekerja untuk
Soros Foundation. Selain itu, Soros juga pernah melakukan pertemuan dengan
Presiden Mikhail Saakashvili di Davos, Swiss, dan menjanjikan akan memberikan
bantuan keuangan kepada pemerintahannya. Dalam menjustifikasikan perbuatannya,
Soros menyatakan, Jutaan dolar uang yang telah dikeluarkan akan melahirkan milyaran
sejarah.
Tiga Organisasi Yang Berperan Dalam Penggulingan Shevardnadze
Bokeria, ketua Liberty Institute yang menerima bantuan dana dari
Institut Masyarakat Terbuka Soros, mengatakan ada tiga organisasi yang
memainkan peran kunci dalam penggulingan Shevardnadze, yaitu Partai Gerakan
National, stasiun televisi Rustavi-2, dan sebuah organisasi kaum muda yang
bernama Kmara. Organisasi pemuda ini mendeklarasikan perang terhadap
Shevardnadze pada bulan April 2003 dan memulai kampanye melalui poster dan
graffiti untuk mengkritik korupsi yang dilakukan pemerintah.
Ketiga organisasi itu memiliki
hubungan dengan George Soros. Menurut laporan media massa Georgia, Kmara
menerima 500.000 dolar untuk mendanai aksi-aksi mereka. Sementara itu, televisi
Rustavi-2 menerima dana awal peluncuran siarannya pada tahun 1995. Televisi
inilah yang memprovokasi massa dengan cara menyiarkan hasil pemilu sesuai
penghitungan yang dilakukan suatu LSM AS, yang berlawanan dengan hasil
penghitungan resmi pemerintah.
Pemimpin Partai Buruh Georgia, Gela Daneliya, pada konferensi pers
di Tblisi, ibukota negara ini, pada tanggal 17 Januari 2004, menyatakan bahwa
Georgia telah menjadi korban Sorosization. Pernyataan ini dikeluarkan Daneliya
menanggapi penunjukan Irakly Rekhviashili sebagai Menteri Ekonomi, Industri,
dan Perdagangan. Padahal, menurut Daneliya, Rekhviashili baru berusia 28 tahun
dan lebih banyak menghabiskan umurnya di luar negeri. Rekhviashili adalah orang
dekat Soros dan diserahi jabatan penting itu pada hari ketika ia tiba di
Georgia.
Namun demikian, masuknya Soros
ke Georgia justru karena kesalahan Eduard Shevardnadze sendiri. Pada awal
dekade 1980-an, Shevardnadze giat menjalin hubungan dekat dengan Soros dan
pemerintahan negara-negara Barat. Shevardnadze sendirilah yang mengundang Soros
untuk mendirikan Institut Masyarakat Terbuka atau Open Society Institute di
Georgia. Namun, setelah mundurnya Mikhail Saakashvili dari jabatannya sebagai
menteri kehakiman, hubungan antara Soros dan Shevardnadze menjadi dingin.
Mikhail Saakashvili inilah yang kemudian menggalang demonstrasi anti
Shevardnadze dan kini menjabat sebagai Presiden Georgia.
Pada pertengahan tahun 2002,
Shevardnadze secara terbuka memulai kritikannya terhadap campur tangan Soros
dalam urusan politik dalam negeri Georgia. Soros kemudian mengadakan konferensi
pers di Moskow dan menyatakan bahwa pemerintahan Shevardnadze tidak bisa
dipercaya dalam pelaksanaan pemilu parlemen yang akan dilakukan tahun 2003.
Soros bahkan mengatakan, Sangat perlu dilakukan mobilisasi masyarakat sipil
untuk menjamin kebebasan dan kejujuran pemilu, karena banyak kekuatan yang
telah ditugaskan untuk memanipulasi pemilu. Inilah yang kami lakukan di
Slovakia pada masa pemerintahan Meciar, di Kroasia pada masa pemerintahan
Tudjman, dan di Yugoslavia pada masa pemerintahan Milosevic. Dengan demikian,
Soros secara eksplisit memang mengakui campur tangan yang dilakukannya atas
urusan politik berbagai negara.
SOROS DI AZERBAIJAN
Republik Azerbaijan adalah
salah satu negara di wilayah Kaukasus yang dijadikan terget kegiatan Soros
Foundation, segera setelah runtuhnya Uni Soviet. Hal ini memiliki beberapa
alasan, antara lain karena Republik Azerbaijan adalah satu-satunya negara
muslim di Kaukasus dan memiliki sumber daya alam yang kaya, sehingga Azerbaijan
bisa disebut sebagai negara terkaya di Kaukasus. Bersamaan dengan naiknya
Haydar Aliyev ke kursi kepresidenan, Soros Foundation pun memperluas
aktivitasnya di negara ini dengan mendirikan Open Society Institute atau
Institut Masyarakat Bebas.
Hingga kini, Institut
Masyarakat Bebas yang dimiliki oleh Soros Foundation telah mengucurkan dana
sebesar 20 juta dolar untuk mendanai berbagai kegiatan mendia massa dan LSM di
Azerbaijan. Farda Asadov, Direktur Eksekutif di Institut Masyarakat Bebas
Azerbaijan, menyatakan bahwa pengeluaran yayasan ini pada tahun 2003 lalu
adalah sebesar 3 juta dolar. Lima belas persen dari jumlah itu digunakan untuk
bidang propaganda, 24 persen di bidang pendidikan, 50 persen untuk memberbaiki
tatanan sosial, dan 16 persen untuk keperluan administrasi. Secara umum, 72
persen bantuan dana dari institut ini diberikan kepada lembawa swadaya
masyarakat atau LSM, dan 28 persen diserahkan kepada lembaga pemerintah
Azerbaijan.
Meskipun kegiatan Soros
Foundation semakin meningkat sejak masa pemerintahan Haidar Aliyev, namun
akhirnya Presiden Azerbaijan ini melemparkan kritikan kepada yayasan ini karena
ikut campur dalam krisis Karabakh. Menurut Aliyev, daripada membantu para
pejuang separatis Karabakh, Soros sebaiknya memberikan bantuan kepada para
pengungsi perang Karabakh. Menjawab kritikan ini, George Soros menyatakan bahwa
adalah terserah baginya untuk memberikan bantuan kepada siapa saja. Soros
bahkan menjanjikan bantuan enam juta dolar kepada etnis Armenia di Karabakh
yang ingin memisahkan diri dari Azerbaijan serta mendirikan kantor perwakilan
di sana.
Setelah terjadinya penggulingan
Presiden Georgia yang didalangi oleh Soros Foundation, pemerintah Azerbaijan
pun semakin mengkhawatirkan kinerja yayasan tersebut di negaranya. Apalagi, pada
tahun 2005, di Azerbaijan akan dilangsungkan pemilu parlemen. Aqil Abasov,
pemimpin redaksi majalah Keadilan di Azerbaijan, menyatakan bahwa Soros
Foundation dengan melakukan berbagai permainan politik berencana untuk
menginfiltrasi pemerintah. Sebagian pejabat partai berkuasa di negara itu juga
menyuarakan kekhawatiran mereka atas gerak-gerik yayasan ini. Tak lama
kemudian, dimulailah gerakan propaganda anti-Soros di Azerbaijan.
Kini, ketika pemilu parlemen semakin mendekat, aktivitas Soros
Foundation menjadi terbatas. Namun setelah Presiden Ilham Aliyev, yang
menggantikan ayahnya, Haidar Aliyev, mengadakan pertemuan dengan Soros di
sela-sela sidang Majelis Umum PBB, kegiatan Soros Foundation kembali meningkat.
Pada bulan Desember 2004, yayasan ini merekrut pegawai-pegawai baru yang
berasal dari kelompok non-Syiah dan mendirikan media massa. Melalui media massa
ini, praktik-praktik korupsi pemerintah dibesar-besarkan dan hal ini mirip
dengan langkah yang diambil Soros di Georgia.
Pada akhir tahun 2004, Institut
Masyarakat Bebas Azerbaijan juga meluncurkan terjemahan buku berjudul Korupsi
dan Pemerintah dalam bahasa Azari, yang ditulis oleh Susan Rose-Ackerman.
Dalam buku ini dibahas secra terperinci mengenai pemilu dan skandal-skandal
yang meliputinya. Peluncuran terjemahan buku ini oleh Soros Foundation tentu
bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang cukup jelas adalah untuk menggalang
opini masyarakat Azerbaijan agar mencurigai pemerintah mereka sendiri.
Sebagaimana kita bahas dalam bagian ke-3, langkah yang diambil Soros di Georgia
adalah dengan mempengaruhi opini rakyat, sehingga rakyat Georgia mengadakan
demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah. Akhirnya, Presiden Shevardnaze
pun mengundurkan diri.
Menanggapi berbagai kritikan
yang diarahkan kepada Soros Foundation di Azerbaijan, Fuad Sulaimanov, salah
seorang juru bicara yayasan ini mengklaim bahwa Soros Fundation tidak pernah
melakukan aktivitas untuk mengubah pemerintahan di negara manapun dan hanya
bergerak di bidang perluasan demokrasi, peningkatan pengetahuan masyarakat,
serta menjaga ketransparansian pemilu. Pernyataan Sulaimanov ini jelas
bertentangan dengan fakta bahwa Soros Foundation bekerjasama dengan Kedubes AS
di Azerbaijan telah mengirim sejumlah oposan pemerintah Azerbaijan ke Ukrainma,
untuk mempelajari revolusi di negara tersebut. Seperti diketahui, di Ukraina
pada akhir tahun 2004 terjadi demonstrasi besar-besaran menentang hasil pemilu.
Akhirnya, dilakukan pemilu ulang yang dimenangkan oleh Viktor Yushchenko yang
didukung oleh AS.
Selain mencampuri urusan
politik dalam negeri Azerbaijan, Soros Fundation juga aktif dalam menghancurkan
sendi-sendi keagamaan masyarakat. Suratkabar Ulayelar yang terkait dengan
Kementerian Keamanan Nasional Azerbaijan, baru-baru ini mengungkapkan usaha
Soros Foundation untuk menyebarluaskan narkotika dalam kedok program
pemberantasan narkotika. Suratkabar ini dalam sebuah makalah berjudul Baku
Dalam Jebakan Heroin, menulis, Soros Foundation pada tahun antara 2001 hingga
2003 menyusun sebuah program rahasia sebanyak 63 halaman berkaitan dengan
penyebaran narkotika. Program penyebarluasan narkotika oleh Soros Foundation
untuk pertama kali terungkap di Rusia dan sejumlah pelaksana program tersebut
telah ditangkap.
Selanjutnya, suratkabar
Ulayelar juga menulis bahwa Soros Foundation di Azerbaijan memiliki
program-program infiltrasi terhadap sekolah, pusat keilmuan dan penelitian,
penjara, dan rumah sakit. Bahkan, yayasan ini berusaha memasukkan pandangan
mereka dalam buku-buku pelajaran sekolah di Azerbaijan, yang jelas bertentangan
dengan kepentingan negara tersebut.
SOROS DI ARMENIA
Meskipun kegiatan Soros
Foundation di Armenia, di bawah bendera Institut Masyarakat Bebas atau Open
Society Institute, masih belum banyak terungkap, namun pola-polanya tidak jauh
berbeda dengan kegiatan yayasan ini di negara-negara Kaukasus lain. Armenia
adalah pangkalan militer Rusia terpenting di Kaukasus. Hal ini menjadikan
Armenia memiliki posisi penting yang membuat AS mengkhawatirkan eratnya
hubungan antara Armenia dan Rusia. Dalam usaha menginfiltrasi Armenia, AS
menggunakan berbagai cara, di antaranya melalui propaganda media massa. Pada
tahun 2004, Institut Masyarakat Bebas berhasil menyebarkan ide-idenya di bidang
media massa dengan disahkannya UU baru Armenia terkait dengan media massa.
Tak lama kemudian, berbagai
media massa menyebarkan propaganda mengenai situasi buruk di Armenia, dengan
tujuan menggerakkan opini rakyat negara ini untuk menentang pemerintah mereka.
Selain itu, Soros Foundation, sebagaimana di negara Kaukasus lain, juga
memberikan bantuan dana kepada LSM-LSM dengan tujuan yang sama, yaitu
menggalang opini rakyat untuk menentang pemerintah. Salah satu LSM yang
mendapat dukungan dana dari George Soros adalah International Crisis Center
(ICG).
Pada akhir tahun 2004, ICG
mengeluarkan laporan sebagai berikut. Armenia yang meraih kemerdekaan pada
tahun 1991 dan memenangkan perang tahun 1992-1994 dengan Azerbaijan, saat ini
sedang berada dalam masa damai dan tengah membangun perekonomiannya. Namun,
kestabilan negara ini terhitung rapuh. Nagorno-Karabakh masih tetap menjadi
problem yang belum terselesaikan yang dengan mudah dapat kembali meletus.
Korupsi dan pelanggaran terhadap proses demokrasi telah meresahkan masyarakat,
yang setengahnya masih hidup di bawah garis kemiskinan…. Pihak-pihak donor
harus lebih menekan negara ini agar terjadi reformasi demokrasi dan
pemerintahan yang baik… Kesempatan untuk menyampaikan kehendak politik secara
bebas masih sangat terbatas.
Berbagai usaha propaganda media
massa dukungan Soros Foundation mulai terlihat hasilnya ketika pada akhir tahun
2004, terjadi demonstrasi besar di Armenia yang didalangi oleh kelompok
oposisi. Isu yang digunakan oleh klompok oposisi Armenia sama seperti yang dilakukan
para oposan Georgia ketika akan menggulingkan Presiden Shevarnadze, yaitu
kecurangan dalam pemilu. Merekapun menuntut Presiden Armenia, Robert Kacharyan,
untuk mundur dengan alasan dia telah terpilih melalui pemilu yang curang.
Indikasi bahwa kelompok oposisi
Armenia mendapat dukungan dari Soros Foundation tampak pada laporan suratkabar
AZG yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2003, sejumlah tokoh oposisi Georgia,
di antaranya Mikhail Saakashvili, telah berkunjung ke Beograd, Yugoslavia.
Dalam kunjungan yang didanai Soros Foundation ini, para tokoh oposisi Georgia
itu memepelajari cara-cara kudeta yang telah menggulingkan Presiden Slobodan
Milosevic. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh oposisi Armenia juga dikirim ke
Beograd dan bisa dipastikan, tujuan kedatangan mereka ke sana adalah juga untuk
mempelajari kudeta yang terjadi di Yugoslavia.
Namun demikian, usaha Institut
Masyarakat Bebas atau Soros Foundation untuk menggulingkan Presiden Armenia,
Robert Kacharyan, hingga kini masih belum berhasil. Apalagi, ada pula faktor
Rusia yang mempengaruhi. Bagi Rusia, Armenia adalah posko terakhirnya di
Kaukasus, setelah negara-negara Kaukasus lainnya berpihak kepada Barat. Rusia
akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pemerintahan Robert Kacharyan.
Hubungan erat antara pemerintah Armenia dengan Rusia ini dijadikan sebagai isu
utama oleh kaum oposan. Mereka menuduh pemerintahan Kacharyan mengekor Rusia.
Usaha AS untuk menggoyang
pemerintahan Kacharyan tidak hanya melalui tangan Soros Foundation, melainkan juga
dengan mengirimkan duta besar baru untuk Armenia, yaitu John Evans. Sebagaimana
yang terjadi di Georgia dan Ukraina, Kedutaan Besar AS sangat berperan dalam
menggalang demonstrasi massa yang akhirnya menyebabkan presiden di kedua negara
itu terguling. Apalagi, AS juga melakukan langkah yang mencurigakan di Armenia
dengan membangun gedung kedutaan AS terbesar di dunia. Menurut situs berita
Pravda, gedung kedubes AS yang baru itu dibangun di atas tanah seluas 9 hektar.
Duta besar AS untuk Armenia,
John Evans, akhir-akhir ini secara teratur mengadakan pertemuan dengan para
tokoh partai-partai oposisi. Penunjukan John Evans sebagai Dubes baru AS untuk
Armenia juga patut dicurigai karena dia dikenal sebagai mentor politik Richard
Miles, Duta Besar AS untuk Georgia yang sangat berperan penting dalam Revolusi
Beludru di Georgia. Itulah sebabnya, pada tahun 2004, pemerintah Armenia
menolak memberikan visa kepada Richard Miles. Pemerintah Armenia bahkan
memerintahkan Direktur Badan Keamanan Nasional untuk menemukan semua orang yang
pernah mengikuti pendidikan di Bosnia pada tahun 2003-2004 atas biaya AS dab
Soros Fpundation. Selain itu, pemerintah Armenia juga melakukan pengawasan
ketat terhadap gerak-gerik Soros Foundation di negara ini.
Bila kita melihat latar belakang mantan Presiden Georgia, Eduard
Shevarnadze dengan Presiden Armenia, Kacharyan, kita akan menemukan kesamaan
kasus, yaitu mereka sama-sama menjalin hubungan yang erat dengan Rusia.
Meskipun Shevarnadze terlihat pro-Barat, namun ia telah menandatangani
perjanjian 25 tahun jual-beli gas dengan Rusia. Akibatnya, George Soros yang
semula berhubungan baik dengan Shevarnadze, malah berbalik mendalangi
penggulingannya. Presiden Armenia pun kini menjalin hubungan erat dengan Rusia.
Hal ini jelas bertentangan dengan kehendak AS, dan sangat mudah ditebak bahwa
AS dengan berbagai cara akan berusaha menggulingkan Presiden Armenia dan
mendudukkan presiden baru yang bersedia menurut pada kehendak AS. Namun yang
jelas, hingga kini, rakyat Armenia masih menolak untuk menyerahkan tanah air
mereka kepada imperialisme AS.
SOROS DI RUSIA
Kehadiran Soros Foundation di
Rusia sudah dimulai sejak masa pemerintahan Gorbachev. Institut Masyarakat
Bebas mulai beraktivitas di Moskow sejak tahun 1987. Bahkan, yayasan inilah
yang memainkan peran penting dalam menyebarluaskan ideologi pro-Barat dan
slogan-slogan demokrasi, yang berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet. Beberapa
waktu yang lalu, Alexander Goldavarop (?), mantan Direktur Soros Foundation di
Rusia, mengatakan, Saya hampir sepuluh tahun bekerjasama dengan George Soros
dan selama waktu itu, saya membelanjakan uang Soros sebesar 130 juta dolar
untuk membantu reformasi di Rusia, memperlancar proses pergantian dari sistem
komunis ke sistem demokrasi liberal, serta membangun masyarakat yang bebas.
Soros Foundation lebih banyak
menggunakan uangnya di Rusia untuk menanamkan modal di bidang media massa. Dari
56 juta dolar dana yang ditanamkan di Rusia tahun 2000 oleh Soros Foundation,
18 juta dolar di antaranya digunakan untuk mendirikan jaringan berita dan 5
juta dolar untuk mendukung surat kabar-suratkabar dan televisi-televisi
pro-Barat. Dalam buku yang ditulis sendiri oleh Soros tahun 1990 berjudul
Membuka Pemerintahan Soviet, Soros menyampaikan ide-idenya tentang pembentukan
pemerintahan yang bebas, sehingga berbagai perusahaan dapat melakukan aktivitas
keuangan di luar kontrol pemerintah.
Dalam rangka mengikis sistem
komunis di Rusia, Soros Foundation juga bekerjasama dengan LSM-LSM bentukan
Barat, di antaranya NED atau Bantuan Nasional untuk Demokrasi. NED didirikan
tahun 1983 oleh Presiden AS saat itu, Ronald Reagan. NED memiliki program
bernama Proyek Pemindahan Demokrasi yang bekerjasama dengan Soros Foundation,
dengan tujuan untuk mempercepat proses reformasi di negara-negara sosialis.
Salah satu hasil dari proyek ini adalah pembentukan organisasi pemuda di
Yugoslavia bernama Otpor. Organisasi pemuda Serbia ini sangat berperan dalam
menggalang demonstrasi tanggal 5 Oktober 2000 yang berhasil menggulingkan
Presiden Slobodan Milosevic.
Menurut berbagai laporan, Soros
Foundation bersama NED pada tahun 2000 telah memberikan bantuan keuangan kepada
38 LSM di Rusia. Pada tahun 2002, kedua lembaga ini memberikan bantuan sebesar
1,4 juta dolar kepada 33 organisasi pembelaan HAM. Melalui berbagai LSM ini,
kedua lembaga ini berusaha menyebarkan ide-ide demokrasi ala Barat dan
menciptakan opini anti-pemerintah. Usaha mereka untuk menggulingkan
pemerintahan Vladimir Putin yang dipilih oleh 80 persen rakyat Rusia ini,
hingga kini masih belum berhasil.
SOROS ANGKAT KAKI DARI RUSIA
Namun tiba-tiba, pada bulan
Juni 2003, Soros memutuskan untuk menghentikan misinya di Rusia. Harian The
Washington Post menulis bahwa alasan resmi yang disampaikan Soros dalam menutup
cabang Soros Foundation di Rusia adalah karena dalam pandangannya, Rusia telah
mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan lagi subsidi darinya. Soros
mengatakan, Saya telah mengeluarkan uang yang sangat banyak di Rusia dan saya
pikir, kini sudah tidak pada tempatnya lagi bagi saya untuk terus mengeluarkan
uang di sini. Russia adalah negara yang telah kembali tegak dan tidak
memerlukan subsidi saya.
Selama 15 tahun beraktivitas di Rusia, Soros diberitakan telah
mengeluarkan uang sekitar 1 milyar dollar. Uniknya, dalam artikel yang sama,
The Washington Post menulis bahwa bentuk bantuan yang dilakukan Soros
Foundation di Rusia, selain membantu perluasan internet di universitas dan
menyusun buku-buku sejarah dengan sudut pandang yang berbeda, adalah juga
menyediakan jarum yang bersih bagi para pengguna narkotika!
Fakta bahwa Soros
menyebarluaskan narkotika di Rusia juga diungkapkan oleh Doktor Vera Butler.
Dalam situs Free republic Doktor Vera Butler menulis, Sudah sangat jelas bahwa
aktivitas Soros tidak terbatas pada Rusia. Garis kebijakannya didasarkan pada
prinsip yang dianutnya. Dia adalah agen dari pemerintahan global, bukan
pemerintahan regional. Soros telah mendirikan sebuah sistem keuangan dan
organisasi, serta mempromosikan legalisasi bagi penggunaan narkotika, aborsi,
euthanasia. Langkah yang diambil Soros ini bisa dipahami sebagai bagian dari
cita-cita kaum Zionis di bawah nama Tatanan Dunia Baru. Membuat masyarakat
menjadi lemah dan lumpuh adalah cara terpenting agar dapat menguasai masyarakat
tersebut. Dalam kasus Rusia, melemparkan generasi muda ke dalam jeratan
pengedar narkotika tidaklah sama dengan melegalisasi kecanduan obat di
negara-negara Barat yang makmur. Di Rusia, memberikan akses bebas terhadap
narkotika adalah sama dengan pembunuhan massal terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, DR. Vera Butler
menulis bahwa salah satu proyek yang dilakukan oleh Institut Masyarakat Bebas
milik Soros adalah mengenalkan sikap toleransi di kalangan pelajar sekolah
menengah Rusia. Namun, toleransi yang diperkenalkan di sini adalah toleransi
atas semua hal, termasuk hal-hal yang menurut budaya Rusia adalah hal-hal yang
tabu dan tidak layak dilakukan. Hal ini jelas merupakan langkah untuk
menyebarluaskan paham kebebasan tanpa batas dan sikap-sikap amoral di Rusia.
Meskipun ketika Soros menutup
yayasannya di Rusia, dia mengatakan bahwa Rusia telah mampu berdiri sendiri dan
tidak memerlukan lagi bantuan dari yayasan ini, namun setelah itu, Soros
berkali-kali menyampaikan kritikan terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Misalnya, pada awal tahun 2005, dalam wawancara dengan koran Austria Die Presse,
Soros menyatakan bahwa Rusia tidak menjalankan demokrasi dan karena itu, AS dan
Uni Eropa harus mempertimbangkan keanggotaan Rusia dalam kelompok G-8. Menurut
Soros, anggota kelompok G-8 haruslah negara yang menjunjung demokrasi dan
karenanya, Rusia harus dicoret dari kelompok tersebut.
Pernyataan ini jelas
bertentangan dengan alasan yang dikemukakan Soros ketika menutup yayasannya.
Karena itu, analisis sesungguhnya dari penutupan Soros Foundation di Rusia
adalah karena besarnya tekanan pemerintah Rusia yang tidak menghendaki
kehadiran yayasan tersebut dan pada saat yang sama, adanya tekanan dari
pemerintah Bush. Menurut harian The Washington Post, pemerintah Bush memang merekomendasikan
agar Soros menghentikan bantuannya terhadap Rusia karena ternyata pemerintah
Rusia tetap tidak mau tunduk pada kehendak AS. Dengan kata lain, di mata Bush,
penghamburan uang di Rusia sia-sia saja karena pemerintahan Putin tetap tidak
tergoyahkan dan Rusia tetap menolak didominasi oleh AS.
Apapun juga alasan di balik penutupan Soros Foundation di Rusia,
namun yang jelas ditutupnya yayasan itu merupakan hal yang positif bagi
masyarakat Rusia. Karena, di balik slogan-slogan penyebaran demokrasi dan
bantuan sosial, Soros Foundation sesungguhnya berusaha untuk mencampuri urusan
dalam negeri Rusia, termasuk menyebarkan amoralitas di sana. Apalagi,
sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, penggulingan kekuasaan di Georgia,
Ukraina, dan Yugoslavia terjadi karena peran Soros Foundation. Tak heran bila
pemerintah Uzbekistan dan Belarus mengambil langkah tegas dengan menghentikan
aktivitas organisasi ini di negara mereka.
Ada Apa Di Balik Intervensi
Soros di Kaukaus dan Asia Tengah?
Selain negara-negara Kaukasus
seperti Georgia, Azerbaijan, Armenia, dan Ukraina, negara-negara Asia Tengah
juga menjadi target kegiatan Soros Foundation. Pada awal tahun 2004, George
Soros mengeluarkan pernyataan bahwa ia ingin agar revolusi di Georgia kembali
terulang di lima negara Asia Tengah. Kelima negara Asia Tengah yang dimaksudkan
Soros adalah Tajikistan, Kirkizistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Untuk itu, selama tahun 2003, Soros Foundation telah mengucurkan dana sekitar
20 juta dolar bagi aktivitas Institut Masyarakat Bebas di kelima negara
tersebut. Tujuan utama pemberian dana sebesar itu adalah untuk memperkuat
posisi kelompok-kelompok pro-Barat yang anti pemerintah.
Kini, muncul pertanyaan, apakah alasan sesungguhnya dari upaya Soros
untuk beraktivitas di negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah? Apakah betul
bahwa Soros hanya berniat mengembangkan demokrasi di sana? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita bisa memulainya dengan membahas apa yang terjadi di
Georgia. Georgia memiliki posisi yang strategis, yaitu antara antara Laut Hitam
dan Laut Kaspia yang kaya minyak. Karena itu, sejak lama negara ini telah
menjadi fokus intrik dan konflik di antara berbagai kekuasaan besar dunia.
Menyusul runtuhnya Uni Soviet, kebijakan imperialisme AS yang paling utama
adalah melemahkan Rusia dan menanamkan dominasi di Georgia dan negara-negara
Kaukasus lainnya.
Cadangan Minyak Senilai 17
Milyar Dolar
Sejak awal masa pemerintahan
Clinton, Washington menanamkan modal politik dan diplomatik yang sangat besar
di dalam proyek pembangunan jalur pipa minyak yang akan mengalirkan minyak dari
ladang minyak Azerbaijan ke negara Barat. Kekayaan minyak yang dimiliki
Azerbaijan dari ladang Azeri-Chirag-Gunashli antara tahun 2003 hingga 2010
diperkirakan mencapai 17 milyar dolar dengan harga minyak 25 dolar perbarel.
Bila diperhitungkan dengan harga dolar beberapa pekan terakhir yang melonjak
hingga 50 dolar, berarti penghasilan minyak Azerbaijan bisa mencapai 24 milyar
dolar.
Besarnya nilai minyak di
Azerbaijan telah membuat AS sangat berambisi menanamkan dominasinya di wilayah
itu. Jalur pipa minyak Azerbaijan yang sedang diincar AS itu mau tidak mau
harus melewati wilayah Georgia. Karena itu bagi Washington, menciptakan
kestabilan di Georgia dengan cara mendudukkan rezim yang pro-AS, merupakan
sebuah hal yang sangat urgen. Kecondongan Presiden Shevardnadze kepada Rusia
telah membuat AS memutuskan untuk menggulingkannya dengan bantuan Soros
Foundation.
Sejak beberapa tahun sebelum
tergulingnya Shevardnadze, Soros Foundation melakukan berbagai langkah, antara
lain membiayai media massa yang gencar mengkritik pemerintah, sehingga
menciptakan kebencian rakyat kepada Shevardnadze. Segera setelah tergulingnya
Shevardnadze, pemerintah Washington langsung menyampaikan ucapan selamat kepada
pemerintah baru Georgia dan mengeluarkan ancaman kepada Rusia agar jangan
mencampuri urusan dalam negeri Georgia. Para pejabat tinggi AS termasuk Donald
Rumsfeld, juga segera datang ke Georgia. Begitu pula pejabat Bank Dunia, IMF,
dan lembaga finansial internasional lainnya.
PIPA MINYAK BAKU TIBLISI DAN
CEYHAN
Pada bulan Maret 2004, Presiden
baru Georgia, Mikhail Saakashvili, bertemu dengan Presiden Azerbaijan yang
dikenal pro-AS, Ilham Aliyev, untuk membicarakan pembangunan pipa minyak Baku-Tiblisi-Ceyhan
(BTC). Jalur minyak inilah yang sangat diincar oleh AS karena akan menyalurkan
minyak mentah dari Baku Azerbaijan, melewati Tiblisi, Georgia, dan berakhir di
Ceyhan, Turki. Jalur ini harus melewati wilayah Rusia, namun pemerintah Rusia
menolak pembangunan jalur pipa minyak ini karena menganggapnya sebagai usaha AS
untuk menginfiltrasi negaranya. Penolakan Rusia ini pula yang menjadi alasan
dari berbagai upaya AS, termasuk melalui tangan Soros Foundation, untuk
menggoyang pemerintahan Vladimir Putin.
Konstruksi pembangunan pipa minyak BTC itu sedang dibangun oleh
sebuah konsorsium multinasional, yang mendapat dukungan AS. Anggaran total
proyek ini diperkirakan mencapai tiga milyar dollar. Jalur minyak ini akan
mengalirkan satu juta barel minyak mentah perhari ke terminal tanker minyak di
Mediterania. Bahkan, rute pipa minyak BTC ini juga bisa dipakai untuk
mengalirkan minyak dari Kazakhstan. Pada pertemuan di Baku, Azerbaijan,
Presiden Georgia dukungan AS, Mikhail Saakashvili, mengulang komitmennya
terhadap proyek pipa minyak BTC dan bersumpah akan melawan setiap halangan
dalam pembangunan pipa ini, termasuk halangan dari Rusia sekalipun.
Pembangunan pipa minyak BTC dan
semakin dalamnya pengaruh AS di Kaukasus tampak sebagai bagian dari strategi AS
yang lebih besar lagi, yaitu menguasai cadangan minyak dan gas di wilayah yang
disebut-sebut sebagai Busur Ketidakstabilan. Isu Perang Melawan Terorisme
telah dieksploitasi AS sebagai upaya untuk mengintervensi wilayah tersebut.
Dalam rangka ini, Washington telah menyerang dan menduduki Irak, sebagai usaha
untuk menguasai cadangan minyak Irak yang sangat kaya. AS juga telah
mendudukkan pasukannya di Afghanistan dan beberapa negara eks-Soviet di Asia
Tengah. Tentara AS itu diprediksikan akan membantu pengamanan rute pipa minyak
lainnya, yaitu jalur Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan.
Dalam proyek raksasa di bidang minyak ini, Presiden Bush dan
George Soros memiliki tujuan yang sama. Karena itu, meskipun Soros dikenal
sebagai pengkritik Bush, namun dalam mencapai tujuan sama di bidang minyak ini,
mereka pun berjalan beriringan. Soros memiliki kaitan erat dengan James Baker,
pendukung kuat mesin politik Bush. James Baker adalah partner bisnis Soros pada
perusahaan Carlyle Group. Salah seorang pemilik saham perusahaan ini adalah
George Bush senior, ayah Presiden Bush. James Baker sendiri adalah salah
seorang makelar dalam proyek minyak Azerbaijan. Adanya koneksi erat di bidang
bisnis inilah yang membuat Bush dan Soros seiring-sejalan.
Tak heran bila untuk kepentingan
bisnis raksasa ini, Soros Foundation mau mengucurkan dana jutaan dolar melalui
Institut Masyarakat Bebas dan LSM-LSM seperti International Crisis Centre (IGC)
yang beraktivitas. Kedua lembaga ini beraktivitas di hampir semua negara di
dunia, terutama negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah yang kaya minyak.
Melalui tangan Soros Foundation inilah rezim Washington berhasil menggulingkan
Presiden Shevardnadze di Georgia, mendudukkan Viktor Yushchenko di Ukraina,
serta menginfiltrasi Azerbaijan dan negara-negara lainnya.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, berbagai aksi yang dilakukan oleh Soros
Foundation membuktikan bahwa meskipun dibungkus dengan slogan demokrasi dan
kebebasan, tujuan utama yayasan ini adalah untuk membuka jalan bagi rezim
Washington dalam memperluas imperialismenya di dunia. Sebagaimana telah kami
bahas sebelumnya, dana Soros Foundation didapat dari hasil spekulasi valuta
asing yang mengakibatkan kehancuran ekonomi berbagai negara dan menyebabkan
kemiskinan puluhan juta orang. Kini, dengan mengeluarkan uang dalam kedok amal
kebajikan, George Soros sesungguhnya sedang berusaha mengeruk harta kekayaan
yang lebih banyak lagi. Karena itu, bangsa-bangsa yang berjiwa merdeka sudah
seharusnya waspada terhadap gerak-gerik yayasan ini di negara mereka.
sumber :http://islamiyah.wordpress.com/2007/03/21/george-soros-pria-yang-menghancurkan-poundsterling-rupiah/
sumber :http://islamiyah.wordpress.com/2007/03/21/george-soros-pria-yang-menghancurkan-poundsterling-rupiah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar